Diplomasi Elegan Perdagangan Internasional
December 3, 2013 by Bustanul Arifin
Diplomasi Elegan Perdagangan Internasional
Bustanul Arifin
Majalah Trobos, 1 Juni 2013
Sebagaimana diketahui, Amerika Serikat (AS) sedang mengajukan notifikasi resmi atau keberatan terhadap kebijakan perdagangan Indonesia di bidang hortikultura dan ternak kepada Indonesia melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Sebanyak 97 pertanyaan (plus sekian anak pertanyaannya) telah diajukan AS kepada Indonesia, dengan esensi mempertanyakan kebijakan perdagangan yang tidak jelas, multi-tafsir, dan membingungkan. AS lebih khusus menyoroti kompleksitas prosedur dan substansi jika harus berdagang dengan Indonesia, khususnya jika ingin memasukkan produk hortikultura, ternak dan produk ternak. Hampir 80 persen pertanyaan memang fokus tentang kebijakan impor hortikultura dan sisanya adalah pertanyaan tentang kebijakan pembatasan impor ternak dan produk ternak.
Indonsesia diberi tenggat waktu 60 hari selama periode ”konsultasi” ini memberikan jawaban kepada AS tentang semua butir yang dipertanyakan sampai akhir April 2013. Delegasi atau tim diplomasi perdagangan internasional Indonesia telah berangkat ke Genewa ke Kantor WTO untuk memberikan penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan AS. Sebelum sidang konsultasi dimulai, telah beredar berita bahwa AS akan membawa persoalan ini ke tingkat panel pada Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settelement Body-DSB) di tingkat WTO. Artinya, sengketa dagang ini tidak akan dapat diselesaikan hanya dua pihak Indonesia dan AS, tetapi memerlukan panel khusus yang dibentuk WTO. Akibatnya, para diplomat Indonesia sengaja tidak memberikan jawaban secara tertulis pada sidang konsultasi itu, karena dapat berbuntut sangat panjang. Apalagi nampak AS sudah cukup gemas dengan kebijakan impor hortikultura dan impor ternak dan produk ternak, yang kebetulan di dalam negeri Indonesia juga sedang berubah menjadi drama pelanggaran hukum dengan dimensi politik yang cukup kental.
Secara spesifik, AS mempertanyakan sekian peraturan perundangan dan kebijakan di Indonesia, dari tingkat undang-undang sampai tingkat peraturan menteri. Delegasi atau diplomat Indonesia pun paham bahwa mempertanyakan kebijakan nasional pada tingkat undang-undang dapat dianggap sebagai intervensi yang terlalu jauh, bahkan dapat mengganggu kedaulatan karena produk hukum setingkat undang-undang dibuat Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Misalnya, AS mempertanyakan kebijakan strategis nasional yang termaktub dalam UU 13/2010 tentang Hortikultura dan UU 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Lebih khusus lagi, AS mempertanyakan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 50/2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Impor Karkas, Daging, Bagian Lain dan Produk Olahan dan Pemerntan 60/2012 tentang Rencana Impor Produk Hortikultura (RIPH). Kemudian AS juga mempertayakan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 24 Tahun 2012 (yang sebenarnya telah diperbarui menjadi Permendag 60/2012) tentang Ketentuan Impor Produk Hewan (KIPH).
Intinya adalah bahwa peraturan hukum dan perundangan di Indonesia dianggap tidak konsisten dengan Ketentuang Perdagangan Dunia, khususnya Articles X:3(a) and XI:1 dari General Agreements on Tariffs and Trade (1994), cikal-bakal berdirinya WTO. Lebih khusus lagi, rezim perizinan yang diberlakukan Indonesia dianggap tidak sesuai dengan Article 4.2 dan Article 19 dari the Agreement on Agriculture (AoA) dan Articles 1.2, 3.2 and 3.3 tentang Import Licensing Agreement dan Article 6 tentang Agreement on Import Licensing Procedures. Di dalam negeri sendiri, sebenarnya rezim perizinan seperti yang diterapkan saat ini di Indonesia justeru menimbulan masalah serius di lapangan. Selain karena terdapat ketidak-tegasan tentang siapa berbuat apa, Kementerian Pertanian dan Kementeria Perdagangan pun sering saling lempar tanggung jawab, apalagi jika terdapat persoalan hukum di lapangan. Kontroversi pemberitaan sidang korupsi tentang dampak buruk dari rezim perijizinan yang telah menghasilkan skema perburuan rente ekonomi dan rente politik sebenarnya cukup memuakkan, melelahkan dan menguras energi emosi masyarakat. Akibatnya, pihak pemerintah seakan tidak berani memgambil langkah tegas untuk memperbaiki keadaan yang terjadi di rumah sendiri, yang semakin membuat yakin pihak AS akan membawa persoalan ini ke tingkat Panel DSB.
Mengapa AS Begitu Peduli?
Dengan kasus sengketa perdagangan seperti ancaman AS di atas, para diplomat Indonesia sebenarnya tidak harus khawatir atau takut secara berlebihan seingga mempengaruhi kinerja diplomasi Indonesia dalam kancang perdagangan internasional. Kasus sengketa dagang di WTO yang melibatkan Indonesia sebenarnya tidak terlalu banyak, hanya dalam hitungan jari sebuah tangan, berbeda dengan sengketa dagang yang melibatkan AS yang tercatat telah mencapai ratusan. Para diplomat kita perlu menghadapi kasus gugatan ini secara elegan dan berwibawa, mempersiapkan para juru runding tangguh dan pengacara kaliber internasional yang mampu berperkara dan meyakinkan pihak AS dan Panel DSB WTO secara umum.
Pada awalnya masyarakat bertanya-tanya mengapa AS amat peduli terhadap ”urusan kecil” kebijakan perdagangan internasional Indonesia. Setidaknya berikut beberapa alasan yang dapat masuk akal. Pertama, bagi AS, urusan impor produk hortikultura, impor ternak dan produk ternnak adalah pintu masuk untuk urusan ekspor produk pertanian lainnya. Impor hortikultura Indonesia dari AS tercatat hanya US$ 120 juta (12 persen) dan impor daging Indonesia dari AS juga hanya 3,5 (persen), suatu jumlah yang tidak signifikan, jika hanya untuk mengejar keuntungan jangka pendek perbaikan neraca perdagangan belaka. Siapa pun paham bahwa Indonesia merupakan pasar besar yang amat potensial yang menggiurkan bagi siapa pun yang ingin berdagangan dengan Indonesia. Indonesia tentu perlu khawatir jika AS kelak mampu memenangkan sengketa di tingkat Panel WTO ini dan menghukum Indonesia untuk segera meliberalisasi perdagangan produk ternak. Produk paha ayam AS (chicken leg-quarter) dapat saja dengan mulus masuk ke Indonesia, yang tentu akan menjadi mimpi buruk bagi pelaku ekonomi perunggasan di dalam negeri.
Kedua, AS mungkin berupaya ”membalas” kasus pelarangan ekspor rokok kretek Indonesia ke pasar AS (Family Smoking Prevention Tobacco Control Act 2009). Sebagaimana diketahui, putusan panel DSB yang diadopsi WTO melalui DS406 per April 2012 ternyata memenangkan Indonesia dalam perkara sengketa rokok kretek tersebut. Waktu itu, para pengacara internasional yang mendampingi tim diplomat Indonesia menggunakan klausul menthol dalam rokok, yang diperbolehkan masuk ke pasar AS. Secara substansi, tidak terdapat perbedaan mencolok antara menthol dan kretek dalam sebuah rokok, kecuali sama-sama berbahaya bagi kesehatan. Jadi, tidak ada alasan bagi AS untuk tidak menerima rokok kretek Indonesia masuk ke pasar AS, yang sebenarnya sangat luas. Selain itu, AS juga pernah kalah dari Indonesia pada Panel DSB di WTO dalam kasus dumping dan subsidi produk pertanian (Continued Dumping and Subsidy Offset Act-2000). Keputusan Panel DSB itu akhirnya diadopsi secara resmi WTO melalui DS217-Januari 2003.
Ketiga, walaupun tanpa bukti obyektif-ilmiah yang konkrit, terdapat nuansa politik yang cukup kental, khususnya pada proses pemilihan Direktur Jenderal WTO yang baru, menggantikan Pascal Lamy yang berakhir tahun ini. Maksudnya, AS mungkin sedang mencoba “menjelekkan” kebijakan perdagangan Indonesia untuk menghambat pencalonan Mari Pangestu, Mantan Menteri Perdagangan Indonesia, dalam bursa pemilihan Dirjen WTO tersebut. Apakah hal ini kebetulan belaka atau tidak, yang jelas Roberto Azevedo dari Brazil yang akhirnya terpilih jadi Dirjen WTO yang baru, sementara Mari Pangestu hanya bertahan sampai 5 besar.
Pelajaran berharga yang dapat dipetik dari serangkaian fenoena diplomasi internasional yang melibatkan hortikultura dan peternakan ini adalah bahwa setiap jengkal langkah diplomasi internasional nerupakan fungsi dari kebijakan domestik suatu negara. Sulit berharap buah diplomasi perdagangan internasional yang baik apabila kebijakan ekonomi di dalam negeri masih bermasalah. Sebaliknya, jika kebijakan di dalam negeri amat solid, terukur, terkoordinasi dengan target yang jelas, maka para diplomat akan relatif mudah menerjemahkannya menjadi langkah-langkah strategis yang elegan.
Beberapa Pilihan Strategi Diplomasi
Sebagai penutup, kasus sengketa dagang yang sampai melibatkan Panel DSB di WTO sebenarnya merupakan persoanal dan dinamika diplomasi biasa saja. Duta Besar Kepala Perwakilan Tetap Republik Indonesia di Genewa memang memiliki tugas untuk senantiasa memperjuangkan kepentingan nasional pada forum diplomasi dagang tersebut. Para diplomat ekonomi ini memang dituntut untuk menunjukkan kinerja cemerlang (excellent). Kinerja baik (good) saja tentu tidak cukup, karena tantangan yang dihadapi senantiasa berkembang amat cepat, bahkan melebihi kemampuan para diplomat dan staf pendukungnya. Kepiawaian dan kemampuan untuk membaca di baik berita tentang kebijakan perdagangan di dalam negeri juga tidak kalah pentingnya. Jakarta sering menyampaikan signal-signal yang lemah kepada Genewa, dan sering multi-interpretasi.
Yang jelas, proses sidang sengketa di Panel DSB masih akan makan waktu lama. Proses diplomasi masih akan berjalan alot, terutama tentang strategi tarik-ulur yang menjadi ciri khas dalam suatu proses diplomasi dagang. Apalagi Indonesia tahun ini justeru disibukkan dengan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) atau Pertemuan Menteri Perdagangan Negara-Negara Anggota WTO di Bali pada Desember 2013. Indonesia harus mampu menunjukkan diri sebagai tuan rumah yang berwibawa dan disegani, baik oleh negara maju, maupun oleh sesama negara berkembang. Indonesia harus menjalankan diplomasi internasional yang elegan. Substansi pembahasan hanya merupakan salah satu saja dari rangkaian agenda dipomasi perdagangan internasional.
Apalagi, menjelang Sidang WTO di Bali itu sudah mulai beredar proposal dan usulan dari negara-negara berkembang untuk menggenjot Agreement on Agriculture (AoA) sebagai follow up dari Persetujuan Doha tahun 2001 (Doha Development Agenda-DDA) yang sering deadlock di tengah jalan. Indonesia sebagai Koordinator G-33 yang beranggotakan negara-negara berkembang (yang kini telah mencapai 46 anggota, tapi nama G-33 tetap tidak diubah) masih memiliki ruang untuk mencari dukungan sesama anggota. Misalnya, India kini menggulirkan proposal public stockholding (semacam cadangan pangan masyarakat) untuk memperkuat ketahanan pangan di negaranya. Indonesia tentu harus mampu keluar dengan proposal yang lebih cerdas agar memperoleh simpati dari sesama anggota G-33. Jika amanat dan kepercayaan itu telah didapat, jangankan sekadar urusan kebijakan hortikultura dan impor ternak dan produk ternak, urusan yang lebih besar dari itu akan memperoleh simpati cukup tinggi juga. Hal yang perlu diingat adalah memasukkan agendaa pembahasan pada Sidang WTO di Bali harus mulai dikerjakan saat ini, karena usulan agenda persidangan biasanya ditutup 4 bulan sebelumnya. Maksudnya, seluruh agenda yang kan dibahas wajib diselesaikan dulu secara internal sebelum tenggat waktu yang disepakati, yaitu pada bulan Juli 2013.
Boleh jadi, Indonesia dapat segera mengubah dua peraturan teknis (Permentan 60/2012 dan Permendag 60/2012) yang dianggap cukup mengganjal perdagangan hortikultura dan produk ternak oleh AS. Revisi perubahan itu setidaknya perlu mempertimbangkan beberapa ketentuan baru dalam WTO yang tidak lagi mengenal rezim perizinan yang justeru sering menimbulkan rente ekonomi dan politik yag tetntu amat distortif. Pada saat yang sama, Indonesia perlu lebih selektif dalam memberikan rekomendasi impor hortikultura dan ternak sambil memanfaatkan kaidah perlindungan teknis dan ekonomis sebagaimana selama ini telah menjadi kewenangan Badan Karantina Pertanian.
Langkah yang tidak dapat digantikan, baik ada sengketa dagang, maupun tidak, adalah dukungan investasi produksi di tingkat hulu, jika perlu agar dikaitkan dengan pengembangan kluster industri inovasi yang lebih terintegrasi. Pembenahan struktur pasar dalam negeri, peningkatan kapasitas pelaku tentang peningkatan mutu, persyaratan kesehatan, tuntutan konsumen modern yang beragam. Alokasi dana penelitian dan pengembangan (R&D) untuk mengembangkan produk hortikultura baru eksotis tropis wajib terealisasi cukup besar sehingga pengembangan plasma nutfah yang tidak ada taranya di dunia ini dapat berjalan dengan mulus. Terakhir, adalah peningkatan fungsi intelijen pasar, perbaikan diplomasi ekonomi semua kantor perwakilan Indonesia luar negeri, untuk peningkatan dayasaing agribisnis pada umumnya.
***Prof. Dr. Bustanul Arifin, Guru Besar UNILA dan Ekonom Senior INDEF-Jakarta
Sumber : http://barifin.wordpress.com/2013/12/03/diplomasi-elegan-perdagangan-internasional/
0 komentar:
Posting Komentar